Herpes
genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus atau Herpes Virus
Hominis. UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini dapat
ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun 1940
membedakan antara Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV-1) dan Herpes
Simplex Virus tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar penyebabnya adalah Herpes
Simplex Virus -2, tetapi walaupun demikian dapat juga disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus -1 (+ 16,1%) akibat hubungan kelamin secara orogenital
atau penularan melalui tangan.
Secara
serologik, biologik dan sifat fisikokimia Herpes Simplex Virus tipe 1 dan Herpes Simplex Virus tipe 2
sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemologik didapat bahwa antibodi Herpes
Simplex Virus tipe 1 sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur lima tahun,
meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemologik
terhadap antibodi Herpes Simplex Virus tipe 2 sulit untuk dinilai
berhubung adanya reaksi silang antara respons imun humoral Herpes Simplex
Virus tipe 1 dan Herpes Simplex
Virus tipe 2.
Dari data
yang dikumpulkan WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap Herpes
Simplex Virus tipe 2 rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas
seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30% pada kelompok wanita
diatas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada Pekerja Seks Wanita (PSW)
ternyata antibodi Herpes Simplex Virus tipe 2 10 kali lebih tinggi daripada orang normal.
Herves
genetalis adalah bila seseorang terpajan Herpes Simplex Virus, maka
infeksi dapat berbentuk episode I infeksi primer (inisial), episode I non
infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama
sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke
dalam tubuh hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam
tubuh hospes tersebut dan mengadakan multipliksi/replikasi serta menimbulkan
kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik,
ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala
konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke
ganglion saraf regional (ganglion sakralis) dan berdiam disana serta bersifat
laten.
Pada
episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum
menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu
terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan
infeksi primer.
Bila pada
suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami
reaktivitas dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah rekurens. Pada saat
ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang
timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger
factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam,
gangguan pencernaan, stres emosi, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol,
obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan pada beberapa kasus sukar
diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya
infeksi rekurens :
a.
Faktor
pencetus akan mengakibatkan reaktivitas virus dalam ganglion dan virus akan
turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan
disana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi.
b.
Virus
secara terus menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor pencetus
ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens.
1.
Gejala Klinis
Manifestasi
klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes pajanan Herpes Simplex Virus
sebelumnya, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar
antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat
berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah
serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi Herpes Simplex Virus
tipe 2 adalah asimtomatis.
Biasanya
didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam
sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi
seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang
berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi
multipel. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai
tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut tetapi bila ada, penyembuhan
memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
Pada
infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama. Kelenjar
limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di daerah
serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus
multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga
tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan
waktu yang cukup lama, dan dua sampai empat minggu, sedangkan pada serangan berikutnya
penyembuhan akan lebih cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi
disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat
menimbulkan retensi urine. Hal lain yang menyebabkan retensi urine adalah lesi
pada daerah sakral yang menimbulkan mielitis dan radikulitis.
Infeksi
rekurens dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul
biasanya lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga
akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan
rekurensi selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa gejala. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap Herpes Simplex Virus
tipe 2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya.
Adanya antibodi terhadap Herpes Simplex Virus tipe 1 menyebabkan infeksi
Herpes Simplex Virus lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial Herpes
Simplex Virus Herpes Simplex Virus tipe 2 berjalan asimtomatik pada
penderita yang pernah mendapat infeksi Herpes Simplex Virus tipe 1.
Tempat
prediliksi pada pria biasanya di preutium, glans penis, batang penis, dapat
juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks), sedangkan daerah skrotum jarang
terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah labia major/minor,
klitoris, introitus vaginae, serviks. Sedangkan pada daerah perianal, bokong
dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita sering dihubungkan dengan
servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi secara teratur.
2.
Komplikasi
Komplikasi
yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir.
Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi
kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang baru lahir dari ibu yang
menderita herpes genitalis pada waktu kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa
hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis, erupsi kulit
berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati.
Pada
orang tua, hepatitis karena Herpes Simplex Virus jarang ditemukan. Sedangkan
meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang tua meningitis
herpetika biasanya disebabkan oleh Herpes Simplex Virus tipe 2 sedangkan
ensefalitis oleh Herpes Simplex Virus tipe 1. disamping itu juga
ditemukan hipersensitivitas terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit
berupa eritma eksudativum multiforme. Dapat juga timbul ketakutan dan depresi
terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita.
3.
Penatalaksanaan
Setelah
diagnosis ditegakkan, baik secara klinis maupun tanpa pemeriksaan penunjang,
maka langkah selanjutnya adalah memberikan pengobatan. Pengobatan dapat melalui
tindakan profilaksis, antara lain :
a.
Penderitya
diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menular terutama bila
sedang terkena serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan abstinensia.
b.
Proteksi
individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan
kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin memakai
air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis hampir
100%. Busa spermisidal secara in vitro ternyata mempunyai sifat
virisidal, dan kondom dapat mengurangi penetrasi virus
c.
Faktor-faktor
pencetus sedapat mungkin dihindari
d.
Konsultasi
psikiatrik dapat membantu karena faktor psikis mempunyai peranan untuk
timbulnya serangan.
4.
Terapi Medis
a.
Pengobatan
non spesifik
1)
Rasa
nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika, antipiretik
dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.
2)
Zat-zat
pengering yang bersifat antiseptik, seperti iodium povidon secara topikal
mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan.
3)
Antibiotika
atau kotrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
b.
Pengobatan
Spesifik
1)
Asiklovir
2)
Valasiklovir
3)
Famsiklovir
5.
Diagnosa Banding
a.
Ulkus
durum : ulkus indolen dan teraba indurasi
b.
Ulkus
mole : ulkus kotor, merah dan nyeri
c.
Sifilis
: ulkus lebih besar, bersih dan ada indurasi
d.
Balanopostitis
: biasanya disertai tanda-tanda radang yang jelas
e.
Skabies
: rasa gatal lebih berat, kebanyakan pada anak-anak
f.
Limfogranuloma
venereum : ulkus sangat nyeri didahului pembengkakan kelenjar inguinal
6.
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan aktualisasi diri
Kebutuhan harga diri
Kebutuhan mencintai dan memiliki
Kebutuhan keamanan dan keselamatan
Kebutuhan fisiologis
Gambar 2.1
Hirarki Kebutuhan dari Maslow
(Sumber :
Setiawan, 1998 : 78)
a.
Kebutuhan
fisiologis
Dampak
Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan fisiologis sangat berpengaruh seperti
dengan adanya rasa nyeri akan mengakibatkan istirahat, mobilisasi, nutrisi dan
eliminasi terganggu karena terdapat nyeri pada abdomen.
b.
Kebutuhan
keamanan dan keselamatan
Dampak
Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan keamanan dan keselamatan sangat
berpangaruh seperti dengan adanya infeksi dirinya merasa takut dan cemas,
karena penyakit yang dideritanya.
c.
Kebutuhan
mencintai dan dicintai
Dampak
Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan mencintai dan dicintai akan
mempengaruhi hubungan dengan teman, keluarga, teman sebaya dan masyarakat
seperti halnya rasa kasih sayang dan seksualitas.
d.
Kebutuhan
harga diri
Dampak
Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan harga diri sangat berpengaruh
seperti adanya perasaan tidak percaya diri dan pengakuan diri dari dirinya
sendiri (harga diri rendah).
e.
Kebutuhan
aktualisasi diri
Dampak
Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan aktualisasi diri adalah
terasingkan dari lingkungan masyarakat
7.
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) Terhadap Sistem Tubuh
a.
Sistem Perkemihan
Pada penderita Infeksi Menular Seksual
(IMS) terjadi disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra,
sehingga dapat menimbulkan retensi.
b.
Sistem Integumen
Pada penderita Infeksi Menular Seksual
(IMS) yang adanya disebabkan oleh herves genitalis biasanya ada rasa terbakar
dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi.
c.
Sistem Reproduksi
Pada penderita Infeksi Menular Seksual
(IMS) yang adanya disebabkan oleh herves genitalis biasanya timbul di daerah
serviks yang mengakibatkan peradangan difusi, ulkus multifel, sampai terjadinya
ulkus yang besar nekrotik.
No comments:
Post a Comment