Monday 27 June 2016

Herves



Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus atau Herpes Virus Hominis. UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun 1940 membedakan antara Herpes Simplex Virus tipe 1 (HSV-1) dan Herpes Simplex Virus tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar penyebabnya adalah Herpes Simplex Virus -2, tetapi walaupun demikian dapat juga disebabkan oleh Herpes Simplex Virus -1 (+ 16,1%) akibat hubungan kelamin secara orogenital atau penularan melalui tangan.
Secara serologik, biologik dan sifat fisikokimia Herpes Simplex Virus  tipe 1 dan Herpes Simplex Virus tipe 2 sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemologik didapat bahwa antibodi Herpes Simplex Virus tipe 1 sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur lima tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemologik terhadap antibodi Herpes Simplex Virus tipe 2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara respons imun humoral Herpes Simplex Virus tipe 1 dan  Herpes  Simplex  Virus       tipe  2.
Dari data yang dikumpulkan WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap Herpes Simplex Virus tipe 2 rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30% pada kelompok wanita diatas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada Pekerja Seks Wanita (PSW) ternyata antibodi Herpes Simplex Virus tipe 2  10 kali lebih tinggi daripada orang normal.
Herves genetalis adalah bila seseorang terpajan Herpes Simplex Virus, maka infeksi dapat berbentuk episode I infeksi primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam tubuh hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan mengadakan multipliksi/replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis) dan berdiam disana serta bersifat laten.

Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami reaktivitas dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres emosi, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan pada beberapa kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya infeksi rekurens :
a.           Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivitas virus dalam ganglion dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan disana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi.
b.          Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens.


1.          Gejala Klinis
Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes pajanan Herpes Simplex Virus sebelumnya, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi Herpes Simplex Virus tipe 2 adalah asimtomatis.
Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama. Kelenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di daerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dan dua sampai empat minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan retensi urine. Hal lain yang menyebabkan retensi urine adalah lesi pada daerah sakral yang menimbulkan mielitis dan radikulitis.
Infeksi rekurens dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap Herpes Simplex Virus tipe 2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap Herpes Simplex Virus tipe 1 menyebabkan infeksi Herpes Simplex Virus lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial Herpes Simplex Virus Herpes Simplex Virus tipe 2 berjalan asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi Herpes Simplex Virus     tipe 1.
Tempat prediliksi pada pria biasanya di preutium, glans penis, batang penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks), sedangkan daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah labia major/minor, klitoris, introitus vaginae, serviks. Sedangkan pada daerah perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi secara teratur.

2.          Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita herpes genitalis pada waktu kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati.
Pada orang tua, hepatitis karena Herpes Simplex Virus jarang ditemukan. Sedangkan meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang tua meningitis herpetika biasanya disebabkan oleh Herpes Simplex Virus tipe 2 sedangkan ensefalitis oleh Herpes Simplex Virus tipe 1. disamping itu juga ditemukan hipersensitivitas terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit berupa eritma eksudativum multiforme. Dapat juga timbul ketakutan dan depresi terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita.
3.          Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, baik secara klinis maupun tanpa pemeriksaan penunjang, maka langkah selanjutnya adalah memberikan pengobatan. Pengobatan dapat melalui tindakan profilaksis, antara lain :
a.               Penderitya diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menular terutama bila sedang terkena serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan abstinensia.
b.              Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin memakai air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis hampir 100%. Busa spermisidal secara in vitro ternyata mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat mengurangi penetrasi virus
c.               Faktor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari
d.              Konsultasi psikiatrik dapat membantu karena faktor psikis mempunyai peranan untuk timbulnya serangan.
4.          Terapi Medis
a.             Pengobatan non spesifik
1)            Rasa nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika, antipiretik dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.
2)            Zat-zat pengering yang bersifat antiseptik, seperti iodium povidon secara topikal mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan.
3)            Antibiotika atau kotrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
b.            Pengobatan Spesifik
1)            Asiklovir
2)            Valasiklovir
3)            Famsiklovir
5.          Diagnosa Banding
a.               Ulkus durum : ulkus indolen dan teraba indurasi
b.              Ulkus mole : ulkus kotor, merah dan nyeri
c.               Sifilis : ulkus lebih besar, bersih dan ada indurasi
d.              Balanopostitis : biasanya disertai tanda-tanda radang yang jelas
e.               Skabies : rasa gatal lebih berat, kebanyakan pada anak-anak
f.               Limfogranuloma venereum : ulkus sangat nyeri didahului pembengkakan kelenjar inguinal
6.            Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
 

Kebutuhan aktualisasi diri
 


Kebutuhan harga diri
 


Kebutuhan mencintai dan memiliki

 
Kebutuhan keamanan dan keselamatan

 
Kebutuhan fisiologis

Gambar 2.1 Hirarki Kebutuhan dari Maslow
(Sumber : Setiawan, 1998 : 78)

a.             Kebutuhan fisiologis
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan fisiologis sangat berpengaruh seperti dengan adanya rasa nyeri akan mengakibatkan istirahat, mobilisasi, nutrisi dan eliminasi terganggu karena terdapat nyeri pada abdomen.
b.            Kebutuhan keamanan dan keselamatan
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan keamanan dan keselamatan sangat berpangaruh seperti dengan adanya infeksi dirinya merasa takut dan cemas, karena penyakit yang dideritanya.
c.             Kebutuhan mencintai dan dicintai
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan mencintai dan dicintai akan mempengaruhi hubungan dengan teman, keluarga, teman sebaya dan masyarakat seperti halnya rasa kasih sayang dan seksualitas.
d.            Kebutuhan harga diri
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan harga diri sangat berpengaruh seperti adanya perasaan tidak percaya diri dan pengakuan diri dari dirinya sendiri (harga diri rendah).

e.             Kebutuhan aktualisasi diri
Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) terhadap kebutuhan aktualisasi diri adalah terasingkan dari lingkungan masyarakat
7.            Dampak Infeksi Menular Seks (IMS) Terhadap Sistem Tubuh
a.               Sistem Perkemihan
Pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) terjadi disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan retensi.
b.              Sistem Integumen
Pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) yang adanya disebabkan oleh herves genitalis biasanya ada rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi.
c.               Sistem Reproduksi
Pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) yang adanya disebabkan oleh herves genitalis biasanya timbul di daerah serviks yang mengakibatkan peradangan difusi, ulkus multifel, sampai terjadinya ulkus yang besar nekrotik.
 
 

No comments:

Post a Comment